TONDANG RAJA PARSAHAP
Timbo dolok martimbang, torunai dalan tu onan Sai asi ma roha ni Tuhanta sian banua ginjang, sai ditambai ma angka hahipason dohot pansamotan Marsinondang songon bulan Marcahayo songon mata ni ari, sai tu domuna ma sahundulan, namarhula marboru, songoni na marhaha-maranggi.
Senin, 24 September 2018
Rabu, 18 Juli 2018
Dalihan Natolu
“Dalihan”
artinya sebuah tungku yang dibuat dari batu, sedangkan “Dalihan Natolu” ialah
tungku tempat memasak yang diletakkan diatas dari tiga batu. Ketiga dalihan
yang dibuat berfungsi sebagai tempat tungku tempat memasak diatasnya. Dalihan
yang dibuat haruslah sama besar dan diletakkan atau ditanam ditanah serta
jaraknya seimbang satu sama lain serta tingginya sama agar dalihan yang
diletakkan tidak miring dan menyebabkan isinya dapat tumpah atau terbuang.
Dulunya,
kebiasaan ini oleh masyarakat Batak khususnya Batak
Toba memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar
kayu. Tiga tungku jika diterjemahkan langsung dalam bahasa Batak Toba
disebut juga dalihan natolu. Sehari-hari
alat tungku merupakan bagian peralatan rumah yang paling vital untuk memasak.
Makanan yang dimasak baik makanan dan minuman untuk memenuhi kebutuhan hidup
anggota keluarga. Biasanya memasak di atas dalihan natolu terkadang tidak rata
karena batu penyangga yang tidak sejajar. Agar sejajar maka digunakanlah benda
lain untuk mengganjal.
Contoh
umpasa Batak Toba yang menggunakan kata Dalihan Natolu :
“Ompunta naparjolo martungkot
sialagundi.
Adat napinungka ni naparjolo
sipaihut-ihut on ni na parpudi.
dari
umpasa di atas, dapat disebutkan bahwa dalihan natolu itu diuraikan sebagai
berikut :
Somba
marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Angka na so somba
marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma
adopanna, jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna.
Berikut
penjabaran singkat tentang makna filsafah Dalihan Natolu dalam kehidupan Batak
Toba serta contoh penerapan bersosial dalam adat Batak Toba.
1.
SOMBA MARHULA-HULA
Hula-hula
dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim
disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang
paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki, sehingga apabila
perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot
tumandangi sige. (artinya, dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak
diambil dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang
muda yang di agat. Untuk sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut
Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah
sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga,
perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat.
Pihak
perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi
keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada
tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya.
Hula-hula
dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal
setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil
satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang,
Tunggane, dengan sebutan hula-hula.
Disebutkan,
Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na. Gadong dalam masyarakat Batak
dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan
pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo).
Siraraon
adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan
isi nya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati
hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah.
Dalam
adat Batak, pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah
yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga
boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila
tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk
diolah boru yang tidak menghormati hula-hula (baca elek marboru).
2.
MANAT MARDONGAN TUBU.
Dongan
tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga.
Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga
Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa
memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan
adat menyatukan diri. Misalnya: Si Raja Guru Mangaloksa menjadi Hutabarat,
Hutagalung, Panggabean, dan Hutatoruan (Tobing dan Hutapea). Atau Toga
Sihombing yakni Lumbantoruan, Silaban, Nababan dan Hutasoit.
Dongan
Tubu dalam adat batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan
rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang
menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah
ke bawah, belum saling kimpoi.
Gambaran
dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan
sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat
hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan perkelahian. seperti
umpama “Angka naso manat mardongan tubu, na tajom ma adopanna’. Ungkapan itu
mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian.
Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik.
Dalam
adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut
(tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan
suatu adat (pesta kimpoi atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya
terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam
pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah
dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.
3.
ELEK MARBORU
Boru
ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga suaminya atau
keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita
dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat
berkat(pasu-pasu). Istilah boru dalam adat batak tidak memandang status,
jabatan, kekayaan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam
suatu pesta adat batak karena posisinya saat itu sebagai boru.
Pada
hakikatnya setiap laki-laki dalam adat batak mempunyai 3 status yang berbeda
pada tempat atau adat yg diselenggarakan misalnya: waktu anak dari saudara
perempuannya menikah maka posisinya sebagai Hula-hula, dan sebaliknya jika
marga dari istrinya mengadakan pesta adat, maka posisinya sebagai boru dan
sebagai dongan tubu saat teman semarganya melakukan pesta.
TOLU SAHUNDULAN
TOLU SAHUNDULAN juga merupakan salah satu budaya Simalungun
yang dapat membawa masyarakatnya ke dalam pembagian kerja.
TOLU SAHUNDULAN membagi masyarakat Simalungun menjadi
tiga
kedudukan yaitu, Tondong, Sanina dan Boru. Ketiga kedudukan ini memiliki fungsi masing-masing yang telah diatur menjadi pembagian kerja bagi masyarakatnya. Tondong
berfungsi dalam memberikan
nasehat, mengajari dan membimbing dalam suatu pesta adat. Sanina merupakan pemilik pesta adat yang sedang berlangsung. Sedangkan Boru berfungsi sebagai penyumbang tenaga di dalam suatu pesta adat. Dapat juga dikatakan pekerja dalam menyiapkan segala kebutuhan pesta adat. Dari ketiga kedudukan ini, tidak ada yang dapat saling merendahkan dan meninggikan, karena sangat beresiko bagi diri sendiri. Di mana, jabatan atau kedudukan yang dimiliki masing-masing individu bersifat relatif. Tergantung pada siapa dan marga apa yang sedang melakukan suatu pesta adat.
Jadi, masing-masing anggota masyarakat akan menunjukkan rasa saling menghormati karena adanya budaya TOLU SAHUNDULAN yang telah mengatur kedudukan masing-masing individu. Oleh karena budaya ingin mencapai suatu pola masyarakat yang hidup saling bekerja sama dan saling menghormatai ditengah-tengah kehidupan sehari-hari, atau dapat dikatakan hidup rukun di dalam masyarakat.
Ada fungsi kebudayaan sebagai aturan dimasyarakat, fungsi kebudayaan sebagai perekat sosial, serta fungsi kebudayaan sebagai alat bagi masyarakat. Terlihat bahwa kebanyakan kebudayaan Simalungun merupakan bagian dari aturan masyarakatnya, serta kebudayaan TOLU SAHUNDULAN juga merupakan perekat sosial bagi masyarakat Simalungun. Selanjutnya yang dapat dipahami
adalah bahwa budaya TOLU SAHUNDULAN masih berlaku bagi sembilan puluh persen masyarakat Simalungun dan masih berfungsi.
Budaya TOLU SAHUNDULAN membentuk masyarakat Simalungun menjadi hidup saling membantu dan bekerjasama. Budaya ini mengikat masyarakatnya untuk saling menghargai antara masing-masing individu yang memiliki kedudukan berbeda-beda. Pola kehidupan yang dibentuk oleh budaya ini, membuat masyarakat Simalungun membiasakan diri untuk hidup secara bersama-sama dan
saling tolong menolong.
Adanya usaha masyarakat untuk hidup saling membantu dan menghilangkan perbedaan yang ada, akan membentuk sebuah
pola kehidupan masyarakat yang aman dan damai. Bentuk-bentuk seperti inilah yang diatur oleh budaya TOLU SAHUNDULAN, sehingga mencapai masyarakat yang rukun di masa sekarang.
Jadi,
yang diharapkan sekarang adalah bagaimana budaya ini dapat dilestarikan dan dikembangkan agar masyarakat dapat mempelajarinya serta memanfaatkan di dalam kehidupan sehari-hari dalam mencapai kehidupan
masyarakat yang rukun.
Langganan:
Postingan (Atom)